Home Ads

Senin, 08 Oktober 2018

Empat Harapan Publik dalam Pilpres 2019


Empat Harapan Publik dalam Pilpres 2019

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengejar sejumlah foto harapan publik pada Pilpres 2019 mendatang.


Survei LSI itu dilaksanakan terhadap 1200 narasumber pada periode 28 Juni-5 Juli 2018.

Sejumlah asa publik tersebut terdiri dari cita-cita pemerintahan yang kuat sampai keengganan publik atas terulangnya konflik Pilkada DKI Jakarta 2017 di Pilpres 2019 nanti.

Baca juga: Saat Dua Menteri Mengungkit Masa-masa Jadi Timses Jokowi-JK di Hadapan Anies...

Adapun empat asa publik dari temuan survei itu adalah:

1. Pemerintahan powerful untuk perkembangan ekonomi

Peneliti LSI Adjie Alfaraby mengungkapkan, isu pemerintahan yang kuat guna menumbuhkan ekonomi dikhususkan oleh publik dikomparasikan pemerintahan yang bersih dan pemerintahan yang menjalankan hak asasi manusia.

Adapun rinciannya pada isu Pilpres 2019 diinginkan menghasilkan pemerintahan yang kuat, dikhususkan oleh 80,7 persen responden.

Baca juga: PDI-P Siapkan 21.000 Caleg guna Pemilu 2019

Sedangkan yang tidak mengkhususkan sebesar 7,3 persen dan tidak tahu atau tidak membalas sebesar 12 persen.

Berdasarkan keterangan dari Adjie, LSI merangkum pengertian publik berhubungan pemerintahan yang kuat guna menumbuhkan ekonomi.

Pertama, kata dia, publik mendefinisikan pemerintahan kuat andai Presiden didukung oleh beberapa besar DPR. Poin ini diamini oleh 78,8 persen responden. Sementara 10,7 persen tak setuju, 10,5 persen lainnya tak tahu atau tak menjawab.

Baca juga: Kalau Ada Pilihan Orang Baik, Masyarakat Antusias Ikut Pemilu 2019

"Kemudian berikutnya pemerintahan kuat andai Presiden didukung pelaku bisnis dalam atau luar negeri. Angkanya 77,5 persen sertuju. 10,1 persen tidak setuju, 12,4 persen tidak tahu atau tidak menjawab," ujar dia dalam penyampaian rilis survei di kantor LSI Denny JA, Jakarta, Selasa (10/11/2018).

Ketiga, publik mengharapkan pemerintahan powerful yang dapat mengendalikan aparat hukum dan keamanannya dengan baik. Poin ini diamini 72,5 persen. Sementara 15,3 persen tidak setuju dan 12,2 persen lainnya tak tahu atau tak menjawab.

"Dan keempat pemerintahan yang kuat andai didukung beberapa besar pemuka agama berpengaruh. Angkanya 69,8 persen. Jadi empat poin ini ialah empat poin yang didefinisikan publik sebagai pemerintahan yang kuat," ujar dia.



2. Pemerintahan yang bersih

Di samping pemerintahan yang kuat, 75,5 persen responden mengkhususkan pemerintahan yang bersih. Sementara 9,4 persen narasumber tak mengkhususkan isu ini. 15,1 persen narasumber lainnya tak tahu atau tak menjawab.

Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfaraby (kanan) mengemukakan rilis survei di kantor LSI, Jakarta, Selasa (10/7/2018)DYLAN APRIALDO RACHMAN/KOMPAS.com Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfaraby (kanan) mengemukakan rilis survei di kantor LSI, Jakarta, Selasa (10/7/2018)
3. Pemerintahan yang menjalankan HAM

Sebanyak 67,5 persen responden pun mengutamakan pemerintahan yang dapat melaksanakan HAM dengan baik. Sementara 10,8 persen tak mengkhususkan isu ini. 21,7 persen lainnya tak tahu atau tak menjawab.



4. Tak hendak konflik Pilkada DKI Jakarta 2017 terulang

Hasil survei pun menunjukkan, beberapa besar responden tak mengharapkan konflik berkepanjangan yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017, terulang lagi pada Pilpres 2019.

Adjie mengungkapkan, kemauan tersebut dikatakan 72,5 persen responden.

Baca juga: Jelang Pilpres 2019, Jokowi Ingatkan Pandai-pandai Memilih Pemimpin

"Hanya 18,5 persen yang lumayan menerima pembelahan publik terjadi di Pilpres 2019. Sebanyak 9 persen tidak tahu atau tidak menjawab," kata Adjie.

Adjie melihat, temuan tersebut merupakan gambaran kekhawatiran publik atas terulangnya konflik laksana di Pilkada DKI Jakarta 2017.

Oleh sebab itu, temuan ini dinilainya sebagai format keengganan publik untuk berpulang kepada konflik horizontal yang lumayan tajam antara penyokong pasangan calon.

Baca juga: Survei LSI: 72,5 Persen Responden Tak Ingin Konflik Pilkada DKI 2017 Terulang di Pilpres

"Pada waktu tersebut pembelahan di publik lumayan besar antara yang menyokong Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan yang tidak menyokong Ahok. Hampir seluruh terbelah, di lingkungan pertemanan, rekan ini menyokong Ahok, kumpulan teman lainnya enggak mendukung. Bahkan tersebut sampai ke lingkungan kerja, ke lingkungan family terpecah," kata dia.

Melihat hasil survei ini, ia menilai, terdapat kedewasaan politik yang tinggi di kalangan masyarakat ketika ini untuk menangkal perpecahan dalam kontestasi politik.

Ia pun menilai, temuan ini menjadi peringatan untuk seluruh elite partai politik sampai pasangan capres-cawapres nantinya guna tak mengerjakan upaya yang merangsang konflik.

Baca juga: Survei LSI: Prabowo, Gatot dan Anies, Jadi Lawan Tangguh Jokowi di Pilpres 2019

"Mulai terdapat kesadaran guna menghindari supaya jangan lagi terjadi hal laksana ini. Ini juga dapat jadi pesan nantinya untuk seluruh elite politik baik parpol, sampai calon guna tidak mendorong hal-hal ini terjadi lagi," ujar dia.

Survei kuantitatif ini memakai metode multistage acak sampling di 33 provinsi Indonesia.

Adapun margin of error survei plus minus 2,9 persen. Artinya, angka survei dapat berkurang atau meningkat sebanyak 2,9 persen. Survei ini diongkosi secara berdikari oleh LSI Denny JA.
Survei LSI itu dilaksanakan terhadap 1200 narasumber pada periode 28 Juni-5 Juli 2018.

Sejumlah asa publik tersebut terdiri dari cita-cita pemerintahan yang kuat sampai keengganan publik atas terulangnya konflik Pilkada DKI Jakarta 2017 di Pilpres 2019 nanti.

Baca juga: Saat Dua Menteri Mengungkit Masa-masa Jadi Timses Jokowi-JK di Hadapan Anies...

Adapun empat asa publik dari temuan survei itu adalah:

1. Pemerintahan powerful untuk perkembangan ekonomi

Peneliti LSI Adjie Alfaraby mengungkapkan, isu pemerintahan yang kuat guna menumbuhkan ekonomi dikhususkan oleh publik dikomparasikan pemerintahan yang bersih dan pemerintahan yang menjalankan hak asasi manusia.

Adapun rinciannya pada isu Pilpres 2019 diinginkan menghasilkan pemerintahan yang kuat, dikhususkan oleh 80,7 persen responden.

Baca juga: PDI-P Siapkan 21.000 Caleg guna Pemilu 2019

Sedangkan yang tidak mengkhususkan sebesar 7,3 persen dan tidak tahu atau tidak membalas sebesar 12 persen.

Berdasarkan keterangan dari Adjie, LSI merangkum pengertian publik berhubungan pemerintahan yang kuat guna menumbuhkan ekonomi.

Pertama, kata dia, publik mendefinisikan pemerintahan kuat andai Presiden didukung oleh beberapa besar DPR. Poin ini diamini oleh 78,8 persen responden. Sementara 10,7 persen tak setuju, 10,5 persen lainnya tak tahu atau tak menjawab.

Baca juga: Kalau Ada Pilihan Orang Baik, Masyarakat Antusias Ikut Pemilu 2019

"Kemudian berikutnya pemerintahan kuat andai Presiden didukung pelaku bisnis dalam atau luar negeri. Angkanya 77,5 persen sertuju. 10,1 persen tidak setuju, 12,4 persen tidak tahu atau tidak menjawab," ujar dia dalam penyampaian rilis survei di kantor LSI Denny JA, Jakarta, Selasa (10/11/2018).

Ketiga, publik mengharapkan pemerintahan powerful yang dapat mengendalikan aparat hukum dan keamanannya dengan baik. Poin ini diamini 72,5 persen. Sementara 15,3 persen tidak setuju dan 12,2 persen lainnya tak tahu atau tak menjawab.

"Dan keempat pemerintahan yang kuat andai didukung beberapa besar pemuka agama berpengaruh. Angkanya 69,8 persen. Jadi empat poin ini ialah empat poin yang didefinisikan publik sebagai pemerintahan yang kuat," ujar dia.



2. Pemerintahan yang bersih

Di samping pemerintahan yang kuat, 75,5 persen responden mengkhususkan pemerintahan yang bersih. Sementara 9,4 persen narasumber tak mengkhususkan isu ini. 15,1 persen narasumber lainnya tak tahu atau tak menjawab.

Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfaraby (kanan) mengemukakan rilis survei di kantor LSI, Jakarta, Selasa (10/7/2018)DYLAN APRIALDO RACHMAN/KOMPAS.com Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfaraby (kanan) mengemukakan rilis survei di kantor LSI, Jakarta, Selasa (10/7/2018)
3. Pemerintahan yang menjalankan HAM

Sebanyak 67,5 persen responden pun mengutamakan pemerintahan yang dapat melaksanakan HAM dengan baik. Sementara 10,8 persen tak mengkhususkan isu ini. 21,7 persen lainnya tak tahu atau tak menjawab.



4. Tak hendak konflik Pilkada DKI Jakarta 2017 terulang

Hasil survei pun menunjukkan, beberapa besar responden tak mengharapkan konflik berkepanjangan yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017, terulang lagi pada Pilpres 2019.

Adjie mengungkapkan, kemauan tersebut dikatakan 72,5 persen responden.

Baca juga: Jelang Pilpres 2019, Jokowi Ingatkan Pandai-pandai Memilih Pemimpin

"Hanya 18,5 persen yang lumayan menerima pembelahan publik terjadi di Pilpres 2019. Sebanyak 9 persen tidak tahu atau tidak menjawab," kata Adjie.

Adjie melihat, temuan tersebut merupakan gambaran kekhawatiran publik atas terulangnya konflik laksana di Pilkada DKI Jakarta 2017.

Oleh sebab itu, temuan ini dinilainya sebagai format keengganan publik untuk berpulang kepada konflik horizontal yang lumayan tajam antara penyokong pasangan calon.

Baca juga: Survei LSI: 72,5 Persen Responden Tak Ingin Konflik Pilkada DKI 2017 Terulang di Pilpres

"Pada waktu tersebut pembelahan di publik lumayan besar antara yang menyokong Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan yang tidak menyokong Ahok. Hampir seluruh terbelah, di lingkungan pertemanan, rekan ini menyokong Ahok, kumpulan teman lainnya enggak mendukung. Bahkan tersebut sampai ke lingkungan kerja, ke lingkungan family terpecah," kata dia.

Melihat hasil survei ini, ia menilai, terdapat kedewasaan politik yang tinggi di kalangan masyarakat ketika ini untuk menangkal perpecahan dalam kontestasi politik.

Ia pun menilai, temuan ini menjadi peringatan untuk seluruh elite partai politik sampai pasangan capres-cawapres nantinya guna tak mengerjakan upaya yang merangsang konflik.

Baca juga: Survei LSI: Prabowo, Gatot dan Anies, Jadi Lawan Tangguh Jokowi di Pilpres 2019

"Mulai terdapat kesadaran guna menghindari supaya jangan lagi terjadi hal laksana ini. Ini juga dapat jadi pesan nantinya untuk seluruh elite politik baik parpol, sampai calon guna tidak mendorong hal-hal ini terjadi lagi," ujar dia.

Survei kuantitatif ini memakai metode multistage acak sampling di 33 provinsi Indonesia.

Adapun margin of error survei plus minus 2,9 persen. Artinya, angka survei dapat berkurang atau meningkat sebanyak 2,9 persen. Survei ini diongkosi secara berdikari oleh LSI Denny JA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Advertisement

Ad Code

FlatBook

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum rhoncus vehicula tortor, vel cursus elit. Donec nec nisl felis. Pellentesque ultrices sem sit amet eros interdum, id elementum nisi ermentum.Vestibulum rhoncus vehicula tortor, vel cursus elit. Donec nec nisl felis. Pellentesque ultrices sem sit amet eros interdum, id elementum nisi fermentum.




Comments

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *